JAKARTA, Keberadaan kolegium kedokteran di bawah kendali pemerintah menuai kritik dari para guru besar dan mahasiswa.
Guru Besar Emeritus Ilmu Kedokteran Universitas Airlangga, Prof. Dr. Djohansjah Marzoeki menilai kolegium kedokteran tidak boleh tunduk kepada penguasa. Kolegium kedokteran hanya bisa tunduk kepada kaidah ilmiah.
“Kaedah ilmiah di dalam itu salah satunya itu adalah ilmu ini harus otonom dan independen. Otonom dan independen itu berarti ilmu ini dia tidak tunduk kepada penguasa. Apakah itu penguasa negara, apakah itu penguasa uang, apakah itu penguasa yang lain,” kata Djohansjah kepada wartawan dalam jumpa pers acara Salemba Bergerak : Mimbar Bebas Hari Kebangkitan Nasional di Gedung FKUI, Jakarta, Selasa (20/5/2025).
Djohansjah mengatakan, kolegium merupakan suatu badan yang mengelola salah satu cabang ilmu kedokteran. Ia menambahkan, ilmu kedokteran tak bisa diintervensi lantaran termasuk ilmu pasti alam.
“Jadi, mengapa ini harus begitu? Untuk menjaga kebenarannya itu tidak bias, tidak diintervensi oleh kekuasaan. Yang keempat, tentunya ilmu kedokteran ini tidak terpengaruh oleh kepentingan orang. Jadi, oleh karena itu ilmu ini mutlak harus independen, jadi tidak bisa diintervensi,” tambah Djohansjah.
Baca juga: Kritisi Kemenkes, Iluni FKUI: Evaluasi Ulang Kebijakan Kesehatan yang Tak Pro Rakyat
Sesuai Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023, kolegium perlu diatur pemerintah. Djohansjah mengatakan, pengambilalihan kolegium untuk diawasi pemerintah justru melawan kaedah ilmiah.
“Dengan adanya Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023, itu justru kolegium ini diambil alih oleh pemerintah, oleh badan politik. Itu sama sekali melawan dari kaedah ilmiahnya. Oleh karena itu, mengapa para dokter, para guru besar yang pada hari ini berkumpul membicarakan tentang betapa pentingnya independensi dari keilmuan ini,” ujar pakar bedah plastik tersebut.
Ia mengatakan, lembaga ilmiah dan organisasi profesi secara umum merupakan kolega pemerintah sebagai tempat berkonsultasi dalam melaksanakan kebijakan publiknya. Menurut Djohansjah, ilmu kedokteran bukanlah ilmu politik.
“Jadi karena itu yang kita harapkan itu pemerintah bisa menghargai lembaga ilmiah dan organisasi profesi itu sebagai suatu badan yang independen dan dipakai sebagai partner,” kata Djohansjah.
“Padahal kita semua tahu, bahwa kolegium itu seharusnya diisi orang-orang yang memiliki skill di bidang tersebut. Kalau diisi dengan Kementerian, kita merasa satu tidak relevan dan kedua ada potensi yang bisa disalahgunakan yang harus dihindari,” ujar Thoriq.
Kolegium Kedokteran adalah badan yang dibentuk oleh organisasi profesi untuk setiap cabang disiplin ilmu yang bertugas mengampu cabang ilmu tersebut, Keanggotaan kolegium terdiri dari para guru besar, ketua program studi, dan para ahli dalam bidang pendidikan kedokteran.
Sebelumnya, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menjelaskan alasan kolegium perlu diatur pemerintah sesuai Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023.
Staf Khusus Menteri Bidang Dukungan Strategis Organisasi Kementerian Kesehatan Rendi Witular menuturkan, sebelumnya kolegium memang dipegang oleh organisasi profesi yang dikuasai elite-elite tertentu.
“Sebelumnya itu di bawah organisasi profesi, orangnya itu-itu saja dikuasai elite-elite tertentu. Karena (kolegium) menentukan kurikulum, standar pelayanan, segala macam, ya kan harusnya kewenangannya pemerintah untuk mengatur,” kata Rendi kepada , Rabu (7/5/2025).
Baca juga: Guru Besar FKUI Desak Pemerintah Cabut Aturan yang Rugikan Layanan Kesehatan
Leave a Reply