Satu Dekade Ojol, Belum Ada Perlindungan Ketenagakerjaan Formal

JAKARTA, Meski sudah lebih dari satu dekade menjadi tulang punggung transportasi harian di kota-kota besar Indonesia, status pengemudi ojek online (ojol) masih terjebak dalam ruang abu-abu ketenagakerjaan.

Mereka bukan karyawan tetap aplikator, tapi juga tak sepenuhnya dianggap wiraswasta mandiri.

Menurut pengamat transportasi Djoko Setijowarno, anggapan Pemerintah bahwa transportasi daring telah membuka lapangan kerja baru adalah keliru.

Baca juga: Cara Driver Ojek Online Bisa Tetap Narik Saat Demo, Tidak Bawa Helm dan Jaket Hijau

“Data menunjukkan, mayoritas pengemudi ojek daring sebelumnya bukan pekerja formal, melainkan memang tidak memiliki pekerjaan. Survei Balitbang Kementerian Perhubungan tahun 2019 mencatat 18 persen pengemudi ojol berasal dari pengangguran, dan survei tahun 2022 menunjukkan angka yang masih tinggi, yaitu 16,09 persen,” kata Djoko kepada , Selasa (20/5/2025).

Ia menilai, pemerintah terlalu cepat menyimpulkan bahwa industri ini menyerap tenaga kerja secara produktif. Padahal, banyak di antaranya yang bergabung karena tidak punya pilihan lain di tengah sulitnya pasar kerja formal.

Terlebih, data dari Badan Kebijakan Transportasi Kemenhub juga mengungkap realita keras: penghasilan para pengemudi hampir setara dengan biaya operasional mereka per hari. Artinya, tak ada jaminan kesejahteraan yang berkelanjutan.

Survei terbaru Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) pada 2023 menguatkan kondisi berat para pengemudi ojol. Hampir 70 persen pengemudi bekerja antara 9 hingga 16 jam per hari, dengan 42 persen tidak memiliki hari libur sama sekali.

Risiko kecelakaan juga tinggi, 31,6 persen pengemudi pernah mengalami insiden saat bekerja, sementara akses perlindungan sosial masih minim; lebih dari sepertiga pengemudi tidak memiliki BPJS Kesehatan.

Lebih lanjut, Djoko menyoroti lemahnya peran aplikator dalam memberikan insentif. Sebagian besar mitra pengemudi mengaku jarang, bahkan tak pernah mendapat bonus maupun tip dari penumpang.

“Dengan pesanan yang menurun pasca penyesuaian tarif, para pengemudi makin terjepit. Mereka butuh pengakuan formal agar bisa mendapatkan perlindungan sosial, bukan sekadar dianggap mitra kerja,” ujarnya.

Salah satu usulan konkret datang dari pengalaman daerah. Djoko mencontohkan kebijakan di Kota Agats, Kabupaten Asmat, Papua Selatan, yang telah mengadopsi sistem pelat kuning bagi ojek agar bisa mendapatkan akses BBM subsidi.

“Pemprov Daerah Khusus Jakarta bisa meniru langkah ini dan bahkan mengembangkan aplikasi sendiri untuk mengatur ojek di wilayahnya,” ucap Djoko.

Ia menegaskan bahwa sudah saatnya pemerintah memikirkan regulasi yang menempatkan pengemudi ojol dalam sistem ketenagakerjaan formal.

Dengan begitu, mereka bisa memperoleh hak dasar seperti asuransi kesehatan, jaminan pensiun, hingga perlindungan hukum jika terjadi sengketa dengan aplikator.

Baca juga: Toyota Luncurkan Mobil Listrik bZ5, Pakai Blade Battery BYD

Di tengah naiknya biaya hidup dan ketidakpastian tarif, wacana formalisasi ini bukan sekadar pilihan, tapi menjadi kebutuhan mendesak bagi jutaan pekerja roda dua yang selama ini dibiarkan bergulat sendiri di jalanan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *